penuturan langsung pelakunya, yang mengalami
sendiri peristiwa tersebut. Karena itu, riwayat yang menyatakan, bahwa
Aisyah dinikahi oleh Nabi dalam usia enam tahunlah yang paling kuat. Ini
dari segi matan (redaksi) hadits.
Adapun dari segi sanad, kedua hadits di atas adalah sama-sama merupakan hadits sahih, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jika dilihat dari segi sanad, kedua hadits tersebut bisa masuk dalam katagori hadits
Adapun dari segi sanad, kedua hadits di atas adalah sama-sama merupakan hadits sahih, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jika dilihat dari segi sanad, kedua hadits tersebut bisa masuk dalam katagori hadits
mu’an’an, yang dalam lazimnya kaidah periwayatan hadits termasuk dalam
kelompok hadits dhaif. Namun, khusus kasus hadits mu’an’an dalam Shahih
al-Bukhari dan Muslim, dikecualikan dari kaidah tersebut. Dengan kata
lain, hadits mu’an’an dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim tetap dianggap
oleh para ahli hadits sebagai hadits sahih. Selain itu juga harus
dicatat, bahwa kaidah atau teori hadits itu baru muncul belakangan, jauh
setelah munculnya Shahih al-Bukhari dan Muslim. Karena itu, hadits
pernikahan Aisyah dengan Nabi saw. tersebut jelas merupakan hadits
sahih, yang kesahihannya tidak patut diperdebatkan lagi. Selain itu,
makna hadits tersebut juga tidak bertentangan dengan nas yang qath’i,
seperti al-Qur’an, surat at-Thalaq: 4, justru saling menguatkan.
Status Perawi Hadits Aisyah
Mengenai status Hisyam (w 145 H), yang konon baru meriwayatkan hadits ini di usianya ketujuhpuluh tahun, dan itu pun dituturkan pada saat di Irak, maka harus diteliti:
Pertama, dalam konteks ada’ (penyampaian) riwayat, tidak ada larangan seseorang menyampaikan riwayat di usia senja. Tentu dengan catatan, bahwa faktor ingatan (dhabt)-nya tidak ada masalah. Dalam kasus periwayatan Hisyam di Irak, yang dipersoalkan oleh ahli hadits adalah ketidakkonsistenan Hisyam dalam menyampaikan model periwayatan.
Beliau kadang mengatakan: haddatsani abi, yang berarti Hisyam mendengar langsung dari ayahnya, dalam posisi beliau sudah mempersiapkan materi hadits dan menghapalnya. Kadang beliau mengatakan: akhbarani abi, yang berari hadits tersebut dibacakan oleh ayahnya. Kadang beliau mengatakan: yaqulu li abi, yang berarti beliau mendengarkan hadits tersebut dari ayahnya, tanpa persiapan dan hapalan sebelumnya.
Namun, secara umum Hisyam, sebagaimana penuturan Ibn Hibban, dalam kitabnya, ats-Tsiqat, adalah orang yang terpercaya (mutqin), wara’, mulia (fadhil) dan hafidh.
Kedua, tidak ada bukti satu pun yang bisa memastikan, bahwa hadits Aisyah tersebut dituturkan oleh Hisyam di usianya yang senja, atau ketika beliau pindah ke Irak. Karena itu, catatan Ya’kub bin Syibah, tentang kondisi Hisyam di Irak: “Hisyam adalah tsiqah, yang tidak ada penolakan sedikit pun terhadap riwayat yang datang darinya, kecuali setelah dia menetap di Irak.”
tidak bisa digunakan untuk mejustifikasi, bahwa hadits pernikahan Aisyah tersebut tidak kredibel. Sebab, semua ahli hadits dan biografi perawi sepakat, bahwa hadits Hisyam tetap kredibel, terutama hadits yang terdapat dalam kitab Shahih. Salah satunya, bisa kita lihat pernyataan Ibn Kharrasy: “Hisyam adalah orang yang jujur (shaduq), dimana haditsnya banyak masuk di dalam kitab Shahih.”
Jika kesimpulan hadits pernikahan Aisyah tersebut ditarik pada posisi Hisyam setelah pindah ke Irak dan di usianya yang senja, maka penarikan kesimpulan seperti ini tidak didasarkan pada fakta, melainkan hanya asumsi. Karenanya, kesimpulan hadits tersebut tidak kredibel, karena faktor Hisyam, ini merupakan kesimpulan logika mantik. Inilah sebenarnya yang terjadi. Karena itu, cara berfikir seperti ini sangat fatal.
Berapa Umur Aisyah ketika Menikah?
Dalam konteks ini memang ada dua riwayat; penuturan Aisyah sendiri, yang menyatakan dinikahi oleh Nabi ketika berusia enam tahun, dan penuturan ‘Urwah, yang menyatakan tujuh tahun. Dalam konteks matan, sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka penuturan Aisyah tentu lebih kuat, ketimbang penuturan tidak langsung yang disampaikan oleh ‘Urwan. Selain itu, perbedaan seperti ini tidak terlalu urgen, mengingat selisih waktu sering kali terjadi, karena beda pijakan dalam perhitungannya. Namun demikian, dua riwayat ini juga bisa dikompromikan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Hajar, sehingga bisa disimpulkan, bahwa Aisyah telah berusia enam tahun, memasuki tahun ketujuh.
Namun, ada kesimpulan lain yang dikembangkan, seolah-olah Aisyah berusia tujuhbelas, delapanbelas atau sembilanbelas tahun. Kesimpulan seperti ini tentu tidak mempunyai pijakan faktual, selain asumsi mantik. Sebagai contoh, pernyataan at-Thabari: “Semua anak Abu Bakar dilahirkan pada masa Jalihiyah dari dua isterinya.”
Dengan asumsi ini, maka Aisyah pun diklaim telah lahir pada masa pra Islam. Padahal, menurut riwayat yang sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Hajar, dalam al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Aisyah dilahirkan pada tahun keempat atau kelima bi’tsah.
Menarik Aisyah dalam katagori “semua anak” Abu Bakar jelas bertentangan dengan fakta, bahwa Aisyah tidak sama dengan anak-anak Abu Bakar yang lain, dimana Aisyah dilahirkan setelah bi’tsah, sementara yang lain sebelumnya.
Kesimpulan-kesimpulan mantik seperti ini sebenarnya tidak sulit dipatahkan, ketika kesimpulan ini terbukti bertentangan dengan riwayat yang sahih. Bukan sebaliknya, riwayat yang sahih justru diruntuhkan dengan menggunakan kesimpulan-kesimpulan yang dibangun melalui logika mantik. Wallahu a’lam.
Status Perawi Hadits Aisyah
Mengenai status Hisyam (w 145 H), yang konon baru meriwayatkan hadits ini di usianya ketujuhpuluh tahun, dan itu pun dituturkan pada saat di Irak, maka harus diteliti:
Pertama, dalam konteks ada’ (penyampaian) riwayat, tidak ada larangan seseorang menyampaikan riwayat di usia senja. Tentu dengan catatan, bahwa faktor ingatan (dhabt)-nya tidak ada masalah. Dalam kasus periwayatan Hisyam di Irak, yang dipersoalkan oleh ahli hadits adalah ketidakkonsistenan Hisyam dalam menyampaikan model periwayatan.
Beliau kadang mengatakan: haddatsani abi, yang berarti Hisyam mendengar langsung dari ayahnya, dalam posisi beliau sudah mempersiapkan materi hadits dan menghapalnya. Kadang beliau mengatakan: akhbarani abi, yang berari hadits tersebut dibacakan oleh ayahnya. Kadang beliau mengatakan: yaqulu li abi, yang berarti beliau mendengarkan hadits tersebut dari ayahnya, tanpa persiapan dan hapalan sebelumnya.
Namun, secara umum Hisyam, sebagaimana penuturan Ibn Hibban, dalam kitabnya, ats-Tsiqat, adalah orang yang terpercaya (mutqin), wara’, mulia (fadhil) dan hafidh.
Kedua, tidak ada bukti satu pun yang bisa memastikan, bahwa hadits Aisyah tersebut dituturkan oleh Hisyam di usianya yang senja, atau ketika beliau pindah ke Irak. Karena itu, catatan Ya’kub bin Syibah, tentang kondisi Hisyam di Irak: “Hisyam adalah tsiqah, yang tidak ada penolakan sedikit pun terhadap riwayat yang datang darinya, kecuali setelah dia menetap di Irak.”
tidak bisa digunakan untuk mejustifikasi, bahwa hadits pernikahan Aisyah tersebut tidak kredibel. Sebab, semua ahli hadits dan biografi perawi sepakat, bahwa hadits Hisyam tetap kredibel, terutama hadits yang terdapat dalam kitab Shahih. Salah satunya, bisa kita lihat pernyataan Ibn Kharrasy: “Hisyam adalah orang yang jujur (shaduq), dimana haditsnya banyak masuk di dalam kitab Shahih.”
Jika kesimpulan hadits pernikahan Aisyah tersebut ditarik pada posisi Hisyam setelah pindah ke Irak dan di usianya yang senja, maka penarikan kesimpulan seperti ini tidak didasarkan pada fakta, melainkan hanya asumsi. Karenanya, kesimpulan hadits tersebut tidak kredibel, karena faktor Hisyam, ini merupakan kesimpulan logika mantik. Inilah sebenarnya yang terjadi. Karena itu, cara berfikir seperti ini sangat fatal.
Berapa Umur Aisyah ketika Menikah?
Dalam konteks ini memang ada dua riwayat; penuturan Aisyah sendiri, yang menyatakan dinikahi oleh Nabi ketika berusia enam tahun, dan penuturan ‘Urwah, yang menyatakan tujuh tahun. Dalam konteks matan, sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka penuturan Aisyah tentu lebih kuat, ketimbang penuturan tidak langsung yang disampaikan oleh ‘Urwan. Selain itu, perbedaan seperti ini tidak terlalu urgen, mengingat selisih waktu sering kali terjadi, karena beda pijakan dalam perhitungannya. Namun demikian, dua riwayat ini juga bisa dikompromikan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Hajar, sehingga bisa disimpulkan, bahwa Aisyah telah berusia enam tahun, memasuki tahun ketujuh.
Namun, ada kesimpulan lain yang dikembangkan, seolah-olah Aisyah berusia tujuhbelas, delapanbelas atau sembilanbelas tahun. Kesimpulan seperti ini tentu tidak mempunyai pijakan faktual, selain asumsi mantik. Sebagai contoh, pernyataan at-Thabari: “Semua anak Abu Bakar dilahirkan pada masa Jalihiyah dari dua isterinya.”
Dengan asumsi ini, maka Aisyah pun diklaim telah lahir pada masa pra Islam. Padahal, menurut riwayat yang sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Hajar, dalam al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Aisyah dilahirkan pada tahun keempat atau kelima bi’tsah.
Menarik Aisyah dalam katagori “semua anak” Abu Bakar jelas bertentangan dengan fakta, bahwa Aisyah tidak sama dengan anak-anak Abu Bakar yang lain, dimana Aisyah dilahirkan setelah bi’tsah, sementara yang lain sebelumnya.
Kesimpulan-kesimpulan mantik seperti ini sebenarnya tidak sulit dipatahkan, ketika kesimpulan ini terbukti bertentangan dengan riwayat yang sahih. Bukan sebaliknya, riwayat yang sahih justru diruntuhkan dengan menggunakan kesimpulan-kesimpulan yang dibangun melalui logika mantik. Wallahu a’lam.