Awalnya Ia Tak Mau Peduli Agamanya Ada yang Menghina, Kini Ia ......
Sebuah
tulisan yang tulus dibuat Joni A. Koto, seorang alumnus ITB. Kisah ini,
sudah diskenario oleh Alloh bagi seorang Joni A Koto, Arsitek Urban
planner, alumni ITB '93.
Berikut tulisannya setelah saya edit seperlunya:
Saya
anggap dunia adalah soal bagaimana hidup dan cari kehidupan. Bagaimana
menikmati dan lebih baik dari manusia lain, bagaimana bisa punya status
baik, dihargai dengan apa yang dipunya dan sedikit jalan-jalan menikmati
dunia.
Saya
anggap orang yang maju dalam agama itu adalah yang berfikiran luas dan
penuh toleransi, saya anggap tak perlulah terlalu fanatik akan sesuatu,
tak perlu reaktif akan sesuatu, keep calm, be cool. Janganlah sesekali
dan ikut-ikutan jadi orang norak. Ikut kelompok jingkrang-jingkrang dan
entah apalah itu namanya.
Saya
tak ikut aksi bela agama ini itu, kalian jangan usil. Jangan dengan
kalian ikut saya tidak, artinya kalian masuk syurga saya tidak! Saya ini
beragama lho, saya ikut berpuasa, saya bersedekah dan beramal. Saya
bantu orang-orang, bantu saudara2 saya juga,jangan kalian tanya-tanya
soal peran saya ke lingkungan. Kalian lihat orang-orang respek pada
saya, temanpun aku banyak. Tiap kotak sumbangan aku isi.
Saya
masih heran, apa sih salah seorang Ahok? Dia sudah bantu banyak orang,
dia memang rada kasar, tapi hatinya baik kok. Saya hargai apa yang sudah
dia buat bagi Jakarta.Saya anggap aksi ini itu hanya soal politis
karena kebetulan ada pilkada. Saya tak mau terbawa-bawa arus seperti
teman-teman kantor yang tiba-tiba juga mau ikut aksi. Saya anggap itu
berlebihan dan terlalu cari-cari sensasi. Paling juga mau selfie-selfie.
Sampai satu saat....
Sore
itu 1 Desember 2016, dalam gerimis saat saya ada di jalan, dalam mobil
menuju tempat miting, dalam alunan musik barat saya berpapasan dengan
rombongan pejalan kaki. Saya melambat, mereka berjalan tertib,
barisannya panjang sekali, pakai baju putih-putih, rompi hitam dan hanya
beralas sendal. Muka mereka letih, tapi nyata kelihatan tidak ada
paksaan sama sekali di wajah-wajah itu. Mereka tetap berjalan teratur,
memberi jalan ke kendaraan yang mau melintas. Tidak ada yang teriak,
berlaku arogan dan aneh-aneh atau bawa aura mirip rombongan pengantar
jenazah yg ugal-ugalan. Ini aneh, biasanya kalau sudah bertemu orang
ramai-ramai di jalan aromanya kita sudah paranoid, suasana panas dan
penuh tanda tanya negatif.
Sore
itu, di jalan aku merasa ada kedamaian yang kulihat dan kurasa melihat
wajah-wajah dan baju putih mereka yang basah terkena gerimis.
Papasan
berlalu, aku setel radio lain. Ada berita: rombongan peserta aksi jalan
kaki dari Ciamis dan kota-kota lain sudah memasuki kota. Ada nama jalan
yang mereka lalui.Aku sambungkan semua informasi, ternyata yang aku
berpapasan tadi adalah rombongan itu!
Aku tertegun.
Lama
aku diam. Otakku serasa terkunci. Analisaku soal bagaimana orang
beragama sibuk sekali mencari alasan, tak kutemukan apa pun yang sesuai
dengan pemikiranku. Apa yang membuat mereka rela melakukan itu semua?
Apa kira-kira?
Aku
makin sibuk berfikir. Apa menurutku mereka itu berlebihan? Rasanya
tidak, aku melihat sendiri muka-muka ikhlas itu. Apa mereka ada
tujuan-tujuan politik? Aku rasa tidak, kebanyakan orang sekarang
memcapai tujuan bukan dengan cara2 itu.Apakah orang-orang dengan tujuan
politik yang gerakkan mereka itu?
Aku
hitung-hitung, dari informasi akan ada jutaan peserta aksi, berapa
biaya yang harus dikeluarkan untuk itu kalau ini tujuan kelompok
tertentu. Angkanya fantastis, rasanya mustahil ada yg mau ongkosi karena
nilainya sangatah besar.
Aku
dalam berfikir, dalam mobil, masih dalam gerimis kembali berpapasan
dengan kelompok lain, berbaju putih juga, basah kuyup juga. Terlihat di
pinggir-pinggir jalan anak-anak sekolah membagikan minuman air mineral
Aku
terdiam makin dalam. Ya Allah....kenapa aku begitu buruk berfikir
selama ini? Kenapa hanya hal-hal jelek yang mau aku lihat tentang
agamaku? Kenapa dengan cara pandangku soal agamaku?
Aku mampir ke masjid, mau sholat ashar. Aku lihat sendal-sandal jepit lusuh banyak sekali berbaris.
Aku ambil wudhu...
Kembali,
di teras, kali ini aku bertemu rombongan tadi, mungkin yang tercecer,
muka mereka lelah sekali. Mereka duduk,ada yang minum, ada yang rebahan,
dan lebih banyak yang lagi baca Quran.Hmmm.............
Aku
sholat sendiri. Tak lama punggungku dicolek dari belakang, tanda minta
aku jadi imam. Aku cium aroma tubuh-tubuh dan baju basah dari belakang.
Aku
takbir sujud, ada lagi yang mencolek. Nahh kali ini hatiku yang
dicolek, entah kenapa hatiku bergetar sekali. Aku sujud cukup lama,
mereka juga diam.Aku bangkit duduk, aku tak sadar ada air bening
mengalir dari sudut mataku.
Ya
Allah,... Aku tak pantas jadi imam mereka.Aku belum sehebat, setulus
dan seteguh mereka. Bagiku agama hanya hal-hal manis. Tentang hidup
indah, tentang toleransi, humanis, pluralis, penuh gaya, in style...bla
bla bla.
Walau
ada hinaan ke agamaku aku harus tetap elegan, berfikiran terbuka.Kenapa
Kau pertemukan mereka dan aku hari ini ya Allah? Kenapa aku Kau jadikan
aku imam sholat mereka? Apa yang hendak Kau sampaikan secara pribadi ke
aku?
Hanya 3 rakaat aku imami mereka, hatiku luluh ya Allah. Mataku merah menahan haru.
Mereka
colek lagi punggungku, ada anak kecil usia belasan cium tanganku,
mukanya kuyu, tapi tetap senyum. Agak malu-malu aku peluk dia. Dadaku
bergetar tercium bau keringatnya, dan itu tak bau sama sekali.Ini bisa
jadi dia anakku juga. Apa yang telah kuajarkan anakku soal islam? Apakah
dia levelnya sekelas anak kecil ini? Gerimis saja aku suruh anakku
berteduh, dia demam sedikit aku panik. Aku nangis dalam hati, di baju
putihnya ada tulisan nama sekolah:... SMP Ciamis... Kota kecil yang
ratusan kilo dari sini. Nampak kakinya bengkak karena berjalan sejak
dari rumah.
Lalu
anak itu bercerita bapaknya tak bisa ikut karena sakit dan hanya hidup
dari membecak. Bapaknya mau bawa becak ke Jakarta bantu nanti kalau ada
yang capek, tapi dia larang.
Ya Alloh, aku dipermalukan berulang oleh mereka di masjid ini. Aku sudah tak kuat ya Allah.
Mereka
bangkit, ambil tas-tas dan kresek putih dari sudut masjid, kembali
berjalan, meninggalkan aku sendirian di masjid. Rasa-rasanya melihat
punggung-punggung putih itu hilang dari pagar masjid aku seperti sudah
ditinggal mereka yang menuju syurga.
Dan
kali ini aku yang norak. Aku sujud, lalu aku sholat sunat dua rakaat.
Air mataku keluar lagi. Kali ini cukup banyak, untung lagi sendirian.
Sudah
jam 5an, lama aku di masjid, serasa terkunci tubuhku di sini. Miting
dengan klien sepertinya batal. Aku mikir lagi soal ke-Islamanku, soal
komitmenku ke Allah. Allah yang telah ciptakan aku, yang memberi ibu
bapakku rejeki, sampai aku dewasa dan bangga seperti hari ini. Di mana
posisi pembelaanku ke agamaku hari ini? Ada di mana? Imanku sudah aku
buat nyasar di mana?
Aku
naik ke mobil, aku mikir lagi. Kali ini tanpa rasa curiga, kurasa ada
sumbat besar yang telah lepas dalam benakku selama ini.Ada satu kata
sederhana sekali tanpa bumbu-bumbu: ikhlas dalam bela agama itu memang
nyata ada!
Aku
mampir di minimarket, kali ini juga makin ikhlas, makin mantap. Aku
beli beberapa dus air mineral, makanan kering, isi dompet aku habiskan
penuh emosional! Ini kebanggaanku yang pertama dalam hidup saat beramal,
aku bahagia sekali!
Ya Allah ijinkan aku kembali ke jalan-Mu yang lurus, yang lapang, penuh kepasrahan dan kebersihan hati....